Politik
Dua event besar akan ramai menjadi bahan obrolan selama sebulan kedepan; piala dunia, dan pemilihan presiden. Saya nggak tertarik dengan piala dunia. Jadi saya akan membicarakan pemilihan presiden.
Memang selalu menarik ketika seseorang bicara tentang politik. Ada yang jijik dengan politik; menganggap politik itu hal yang tabu dan kotor. Ada yang antusias; menganggap politik itu hal yang penting. Ada pula yang masa bodoh.
Pembicaraan di media sosial juga semakin ramai, apalagi kalau melihat grup-grup relawan dari masing-masing kubu. Hingga Kaskus pun membuka forum khusus untuk sharing dan beradu argumentasi mengenai pemilihan presiden kali ini. Masing-masing kubu juga mempunyai cyber-army, pasukan yang siap berkampanye dan mendongkrak popularitas capres di dunia internet. Yap, mau bagaimana lagi kalau itu memang strategi mereka untuk menjaring suara.
Yang saya sayangkan adalah, akun kloningan / akun telur / akun palsu menyebar di mana-mana. Banyak yang nggak berani untuk berargumentasi dengan akun sendiri. Banyak yang nggak pengen citranya terusik karena politik. Mungkin dengan akun palsu tersebut, mereka bebas melontarkan kata-kata kasar dan menyebarkan fitnah.
Kalau sebelumnya adalah yang fanatik, lain lagi dengan yang skeptis. Orang-orang yang risih kalau ada yang share atau menulis status tentang politik. Orang-orang menganggap semua yang bernada negatif itu black campaign. Orang-orang yang sudah nggak bisa membedakan mana kritikan dan mana celaan. Orang-orang yang merasa jengkel kalau ada yang berdebat tentang politik.
Yang ribut mereka, kok yang repot sampeyan?
Mungkin kita belum dewasa dalam berdemokrasi. Kita belum bisa menyatu dalam perbedaan.
Mungkin kita belum benar-benar membutuhkan kebebasan pers. Kita masih risih jika ada orang yang bersuara lain.