Dari Boyolali ke Silicon Valley

Saya menulis tulisan ini untuk sayembara buku antologi Para Pembidik Mimpi: 99 Kisah Penerima Bidik Misi Berprestasi. Setelah melalui seleksi yang ketat, kisah saya terpilih menjadi salah satu dari 99 kisah yang dibukukan. Buku ini akan diserahkan oleh Menristekdikti kepada Presiden Ir. Joko Widodo pada bulan Agustus 2016.

Desember 2013, Semester 2, Depok

Saya selalu benci ujian, baik itu ujian tengah semester, ujian akhir semester, maupun kuis mingguan berbagai mata kuliah yang saya ambil di Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Ujian-ujian tersebut sangat melelahkan, sulit, dan sama sekali tidak relevan dengan kehidupan di dunia nyata nanti. Namun ujian-ujian tersebut sepertinya tidak dapat dihindari dalam hidup saya. Untuk menghindari ujian-ujian perkuliahan berarti saya harus drop out dari kampus saya. Percaya atau tidak, saya pernah mencari “reasons not to drop out from university” di Google. Lalu saya merenung dalam-dalam, kemudian saya tersadar kalau saya lupa akan hal-hal yang sangat berharga. Saya terlalu dibutakan oleh ambisi saya (tanpa tersadar kalau) saya telah mengabaikan sisi lain hidup saya.

Pertama saya tersadar mengapa saya ada di sini. Melihat kembali beberapa tahun lalu, saya hanyalah seorang anak kampung yang tinggal di desa terpencil di daerah Simo, Boyolali, Jawa Tengah. Diantara tetangga-tetangga kami, kami termasuk keluarga yang miskin. Kami tidak mempunyai televisi, dan bahkan bertahun-tahun lamanya kami tidak mempunyai saluran listrik sendiri. Kami numpang mendapatkan aliran listrik dari tetangga kami melalui kabel tipis dan sekedar cukup untuk menerangi rumah kami. Dari segi pendidikan, jujur saja saya tergolong terbelakang jika dibanding anak-anak yang tinggal di kota. Saya tidak pernah menyentuh apa itu yang namanya komputer, apalagi internet. Tetapi saya sadar akan kondisi saya tersebut, saya tidak ingin hidup terus menerus dengan kondisi tersebut, sehingga saya mencoba semampu saya untuk belajar lebih rajin.

Beberapa tahun kemudian, saya diterima dan mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah menengah terbaik di daerah saya (SMP 1 Boyolali). Kemudian saya juga diterima di salah satu SMA terbaik di Indonesia (SMA Sragen Bilingual Boarding School) dengan beasiswa penuh. Dan sekarang, saya berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di universitas terbaik di Indonesia, juga dengan beasiswa (dan uang saku).

Saya seakan-akan lupa, bahwa saya hampir tidak pernah mengeluarkan sepeser uangpun untuk membiayai pendidikan saya. Seumur hidup, saya menikmati pendidikan dengan tanpa biaya, gratis. Padahal banyak teman-teman saya yang tidak seberuntung saya, yang tidak dapat menikmati pendidikan sebaik yang saya dapatkan. Apakah saya anak yang paling tidak bersyukur di muka bumi?

Pendidikan merupakan hal yang paling membentuk hidup saya hingga bisa sampai ke titik ini. Pendidikan adalah alasan kenapa saya berada di sini, tidak menjadi anak seorang petani yang putus sekolah karena harus membantu orang tua saya di sawah.

Akhir-akhir ini saya mulai ragu dengan sistem pendidikan di universitas, karena menurut saya kurikulum di universitas saya tidak relevan dengan kehidupan nyata. Banyak mata kuliah yang terlalu teoritis dan malah membelenggu kreativitas mahasiswa. Saya pernah terpikir untuk menjadi pengusaha saja, atau freelance programmer saja yang tidak membutuhkan gelar sarjana. Terlebih lagi keterampilan-keterampilan yang saya butuhkan dapat saya pelajari sendiri tanpa harus menghabiskan waktu 4 tahun di universitas. Tetapi ternyata saya salah.

Kalau saya dropout, apa yang harus saya katakan pada kedua orang tua saya, dan pada semua orang yang sudah membantu saya selama bertahun-tahun. Mungkin banyak orang akan berpikir kalau saya sudah gila. Apa yang harus saya katakan kepada negara ini, kalau saya membuang begitu saja dukungan untuk masa depan saya. Dan saya juga membuang 4 tahun masa pendidikan yang sangat bernilai, walaupun mungkin saya juga bisa meraih cita-cita saya tanpa melalui bangku kuliah.

Dalam hidup saya, saya tidak suka ikut-ikutan yang mainstream (umum). Saya selalu tertarik dengan profil-profil tokoh yang anti-mainstream, yang eksentrik, yang drop out dari universitas kemudian sukses, seperti Bill Gates, Steve Jobs, maupun Mark Zuckerberg. Tetapi saya akhirnya menyadari kalau di Indonesia, yang umum adalah orang-orang yang tidak pernah kuliah. Yang umum adalah masyarakat miskin dan tidak pernah menikmati pendidikan. Jadi kalau saya ingin memberi perbedaan, saya harus mendapatkan gelar sarjana saya!

Walaupun pada awalnya saya tidak menikmati perkuliahan, tetapi ternyata perkuliahan melatih saya untuk berpikir kritis dan rasional. Perkuliahan mempertemukan saya dengan teman-teman yang mungkin tidak dapat saya temui apabila saya tidak kuliah. Perkuliahan juga memberikan fasilitas-fasilitas yang berharga seperti materi-materi, buku, hasil riset, dan koneksi internet yang malah mendukung ide saya untuk belajar mandiri. Jadi kalau saya membuang semua itu, bukankah saya memang anak yang paling tidak bersyukur?

Jadi kalau ada di antara kita yang merasa lelah dengan kuliah, dan ingin pulang kampung saja, itu berarti kitalah yang tidak dapat memanfaatkan pengalaman kuliah dengan baik.

Juli 2016, Semester 7, San Francisco

Semester-semester berikutnya di Fasilkom UI, saya belajar banyak tentang programming dan membuat aplikasi-aplikasi sederhana. Kemudian karena saya tertarik dan merasa senang menggeluti bidang IT, saya pun mulai mengumpulkan sumber belajar dari luar kampus. Saya banyak belajar dari buku, online course, hingga datang ke meetup developer di sekitar Jakarta. Karena terekspos dengan dunia industri sejak awal, saya pun mulai mencari kesempatan-kesempatan untuk mengeksplorasi bidang ini. Saya mulai mengerjakan proyek membuat website sejak semester 2 ketika saya bergabung dengan organisasi Ristek (Riset dan Teknologi) di Fasilkom UI. Dan pada liburan semester 3 saya melakukan internship (magang) di GDP Labs, sebuah perusahaan IT di Jakarta. Pada masa-masa tersebut saya belajar banyak hal mengenai software engineering serta ekosistem industri IT di Indonesia.

Sebagai siswa yang berasal dari daerah, tentu pada awalnya sangat sulit untuk beradaptasi di lingkungan kerja IT yang serba modern. Banyak teman-teman yang merasa belum mampu untuk menjajaki dunia di luar zona nyaman, namun saya berpegang teguh bahwa ketidaknyamanan di awal itu perlu agar kita bisa terus terpacu untuk belajar. Masa-masa awal beradaptasi tersebutlah yang paling memungkinkan kita untuk berkembang. Dan semakin saya menjajaki dunia IT di Jakarta, saya merasa ingin untuk melihat kondisi IT di dunia. Sejak saat itulah saya mulai mencari-cari bagaimana agar saya bisa merasakan industri IT di luar negeri.

Pada awal tahun 2014 saya dikenalkan dengan istilah Silicon Valley, yaitu sebuah daerah di Amerika Serikat di mana banyak perusahaan-perusahaan IT terbaik di dunia bermarkas. Silicon Valley juga merupakan tempat lahirnya inovasi-inovasi teknologi yang mengubah dunia seperti komputer, internet, dan smartphone. Google, Facebook, Apple, Twitter, IBM, dan banyak perusahaan besar lainnya dimulai dari sana. Setelah mencari tahu lebih jauh, saya tertantang untuk mencoba mencicipi karir di sana.

Pada akhir 2014, ketika browsing di internet saya menemukan program bernama Indo2SV (www.indo2sv.com). Indo2SV adalah program mentorship bagi mahasiswa yang ingin mencoba merasakan pengalaman internship di Silicon Valley. Program tersebut diselenggarakan oleh beberapa karyawan Indonesia yang bekerja di Google, Facebook, dan perusahaan besar lain di Silicon Valley. Dari lebih dari 250 pendaftar program tersebut, alhamdulillah saya terpilih menjadi salah satu dari 8 mahasiswa yang dibimbing selama tiga bulan. Sepanjang program tersebut, saya dilatih bagaimana cara membuat CV sesuai standard perusahaan AS dan bagaimana menjalani proses interview teknis yang wajib ketika mendaftar untuk bidang Software Engineering. Walaupun program tersebut hanya sebatas pada memberi bimbingan untuk interview, tetapi hal tersebut sangat bermanfaat bagi saya ketika menjalani proses rekrutmen setiap perusahaan yang saya daftari. Mungkin saya tidak akan berani untuk mencoba mendaftar internship di Silicon Valley kalau tidak ada bimbingan kakak-kakak yang melatih saya interview.

Pada akhirnya saya mendaftarkan diri secara online di banyak perusahaan, mungkin ada lebih dari tiga puluh perusahaan. Namun dari semua perusahaan tersebut, hanya dua perusahaan yang memberikan kesempatan kepada saya untuk interview, yaitu Google di Mountain View dan Twitter di San Francisco. Saya gagal di tahap pertama interview untuk Google. Setelah itu saya semakin banyak latihan untuk interview, karena interview perusahaan di Silicon Valley sangat berbeda dengan interview perusahaan di Indonesia. Di Silicon Valley, interview untuk posisi IT hampir pasti terkait hal teknis dan harus mempraktekkan keterampilan programming kita melalui video call (screen sharing). Setelah melewati enam tahap interview yang memakan waktu lebih dari sebulan, alhamdulillah saya mendapatkan tawaran oleh Twitter untuk melakukan internship sebagai Software Engineer selama tiga bulan di San Francisco pada bulan Juni hingga September 2015. Karena performa saya yang bagus di periode tersebut, saya mendapatkan tawaran untuk melakukan internship lagi di Twitter pada tahun 2016. Saya dibebaskan untuk memilih tim mana yang saya sukai. Saya akhirnya memilih tim yang dari dulu saya sangat tertarik: tim core storage, yang bertugas untuk membuat program penyimpanan data utama Twitter. Saya hampir minder lagi ketika diberitahu kalau tim tersebut tidak biasa menerima internship, kalaupun ada, pasti internship dari program doktoral (S3). Namun ini kesempatan yang langka untuk saya belajar, jadi saya mengambil tawaran tersebut untuk internship di Twitter yang kedua kalinya.

Ketika menulis kisah ini, saya sudah hampir dua bulan berada di San Francisco untuk internship saya yang kedua. Saya belajar banyak hal, mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga, dan saya yakin ilmu yang saya dapatkan di sini dapat saya bagikan ke teman-teman di Indonesia agar semakin semangat dalam menggapai cita-cita masing-masing walaupun berada dalam keterbatasan. Saya yakin, di manapun kita dan bagaimanapun kondisi kita sekarang, yang memisahkan kita dengan kesuksesan hanyalah kerja keras kita.

Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Beasiswa Bidik Misi  yang telah membantu mewujudkan cita-cita saya, dan terus meniupkan bara semangat untuk berkarya lebih giat lagi agar suatu saat kelak saya juga bisa membantu mewujudkan cita-cita teman-teman di Indonesia. Bantuan pendidikan dan finansial yang saya dapatkan sangat berarti bagi saya, ketika saya sedang merasa lelah atau tidak bersemangat untuk belajar, saya selalu teringat bahwa yang saya nikmati sekarang ini harus saya bayar dengan kesuksesan saya nanti.

Tri Ahmad Irfan
29 Juli 2016